بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
21 Dalil Tentang Maulid Rasulullah SAW
Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul
Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih
yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin,
beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang
menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan
syara’.
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
PERTAMA, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan
kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan
manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab,
paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam
Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena
kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari
Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas
kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada
seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran
sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu
ada di hatinya?
KEDUA, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan
bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmat-Nya yang terbesar
kepadanya.
KETIGA, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah
Al-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58).
Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan
rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana
tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat
bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
KEEMPAT, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan
kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu
ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan
mengagungkan harinya.
KELIMA, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk
membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam
sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang
dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak
manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam
kepadanya.
KEENAM, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran
beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau.
Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk
meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab
Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
KETUJUH, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa
beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan
menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau
melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa
yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan
kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana
beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang
perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada
beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
KEDELAPAN, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya,
dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri
seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna
kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, baik
fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam
hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan
akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua
hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan
tuntutan agama.
KESEMBILAN, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan
bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat
jamuan, berkumpul untuk pengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir,
adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling
nyata.
KESEPULUH, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari
Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam
diciptakan.” Hal itu menunjukkan dimuliakan-nya waktu ketika seorang nabi
dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang paling utama dan
rasul yang paling mulia?
KESEBELAS, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang
bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di
semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang
diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang
baik oleh kaum muslimin, ia pun baik di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
KEDUA BELAS, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya
umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang
dituntut oleh syara’ dan terpuji.
KETIGA BELAS, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari
rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS
Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah
untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh
untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari
kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.
KEEMPAT BELAS, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para
salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang
haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu
(yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalil-dalil
syara’.
KELIMA BELAS, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram,
niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umur, dan Zaid,
dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para
sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika
mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih,
padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan
baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua
bid’ah itu diharamkan.
KEENAM BELAS, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di
zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah
yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang
bentuknya, bukan perincian-perincian amalan yang terdapat di dalamnya
(sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga
ada di masa Nabi.
KETUJUH BELAS, semua yang tidak ada pada awal masa Islam
dalam bentuknya tetapi perincian-perincinan amalnya ada, juga dituntut oleh
syara’. Karena apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun
dituntut oleh syara’.
KEDELAPAN BELAS, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang
baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan
Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah
bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan
yang tersebut itu, adalah terpuji.”
KESEMBILAN BELAS, setiap kebaikan yang tercakup dalam
dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula
mengandung suatu kemungkaran, itu termasuk ajaran agama.
KEDUA PULUH, memperingati Maulid Nabi SAW berarti
menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita
disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah
haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah
lalu.
KEDUA PULUH SATU, semua yang disebutkan sebelumnya tentang
dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada
peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang
tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang
disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan
perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan banyaknya
pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai shahthul Maulid, tak
diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada
peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang
tersebut.
Mubtadi’in.Wallahu a’lam bis shawab,
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Sumber : Himmahsalaf disarikan dari kitab Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid
‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki
(1365 H -1425 H)
0 komentar:
Posting Komentar